Kayaknya kisah klasik shakespeare, sang maestro sastra puitik London itu gaungnya universal ya. Romantika sepasang muda-mudi yang fall in love-nya begitu buta itu tak berujung kegembiraan. Mereka harus berakhir tragis sebelum usia lanjut. Mungkin kita di Indonesia perlu membuat versi cerita yang lebih membahagiakan kali ya biar ada amanat yang berpengharapan hidup sejahtera sampai akhir menutup mata... mati juga ujungnya.
Koran minggu ini menguak peristiwa tragis dari palembang. Korban pertamanya selalu perempuan, seperti skenario klasik aja. Bedanya settingnya pola keluarga modern, bukan kerajaan yang feodal, monarki yang mempertahankan tradisi bibit, bobot, bebet secara kaku. Dalam sastra Indonesia sendiri dikenal cerita Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat yang tidak jauh dari nuansa romanika perjodohan pada masanya; lalu yang lebih kemudian Cintaku di Kampus Biru, Arjuna Mencari Cinta, sampai Saman.
Ada keharuan mendalam di dada ini, Ada emosi terpendam yang tak terlacak alat deteksi polisi. Motif. Bagusnya, rentetan peristiwa begitu cepat terendus, terlacak, terungkap sebagian besar, dan keluarga korban begitu tabah melepas buah hati bersemayam di pusara tanah liat, bahkan pada awal menjalani ibadah puasa. Secara pribadi saya tidak dalam posisi memberikan penghakiman, biarlah proses hukum positif di negara saya memberkasnya sampai ada putusan yang final dan berkeadilan. Pertanyaan di hati saya adalah: Kenapa tak ada korelasi antara tingkat pendidikan dengan kematangan pribadi dalam soal love? Sudut pandang pertimbangan apa yang membutakan kesejatian gairah hidup orang muda sekarang? Status kurang apa, fasilitas kurang apa, kebebasan apalagi? Dan yang paling susah dijawab: siapa yang paling bertanggung jawab atas hidup manusia, jiwa manusia, tujuan akhir hidup manusia?
Kematian, memang tak seorang pun tahu batasnya di mana. Harakiri di Jepang dilakukan pada pertimbangan pertobatan diri, penyesalan diri paling tinggi pelakunya akan tradisi luhur sejarah bangsanya. Mereka harus mempertahankan kehormatan silsilah keluarga dengan samurainya. Mushashi menjadi buku terapan ahli perang dalam strategi berdagang mereka yang disebut dumping. Kekaisaran tetap dipelihara sebagai warisan budaya bangsanya yang telah maju. Nilai perjuangan sampai titik darah penghabisan generasi seperti inilah yang mestinya menjadi motivasi membangun kesejahteraan, kesatuan bernegara di republik ini, bukan republik mimpi ala televisi.
Pembunuhan, bukan tindakan pintas mengakhiri konflik masyarakat tanpa peperangan. Pembunuhan, bukan cara penyelesaian cerita dari klimaks yang dilematis. Orang harus menemukan kesadaran baru bernama pencerahan jiwa pribadi, jiwa sosial, dan jiwa religiusnya lewat proses sejarah hidupnya dari hari ke hari, dari waktu ke waktu. Orang bijak berkata : Cintailah sesama, seperti engkau mencintai dirimu sendiri. Narsiskah? Hanya orang waras yang berbaur dengan orang lain tidak kelihatan edannya. In Memoriam bu dokter.
Koran minggu ini menguak peristiwa tragis dari palembang. Korban pertamanya selalu perempuan, seperti skenario klasik aja. Bedanya settingnya pola keluarga modern, bukan kerajaan yang feodal, monarki yang mempertahankan tradisi bibit, bobot, bebet secara kaku. Dalam sastra Indonesia sendiri dikenal cerita Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat yang tidak jauh dari nuansa romanika perjodohan pada masanya; lalu yang lebih kemudian Cintaku di Kampus Biru, Arjuna Mencari Cinta, sampai Saman.
Ada keharuan mendalam di dada ini, Ada emosi terpendam yang tak terlacak alat deteksi polisi. Motif. Bagusnya, rentetan peristiwa begitu cepat terendus, terlacak, terungkap sebagian besar, dan keluarga korban begitu tabah melepas buah hati bersemayam di pusara tanah liat, bahkan pada awal menjalani ibadah puasa. Secara pribadi saya tidak dalam posisi memberikan penghakiman, biarlah proses hukum positif di negara saya memberkasnya sampai ada putusan yang final dan berkeadilan. Pertanyaan di hati saya adalah: Kenapa tak ada korelasi antara tingkat pendidikan dengan kematangan pribadi dalam soal love? Sudut pandang pertimbangan apa yang membutakan kesejatian gairah hidup orang muda sekarang? Status kurang apa, fasilitas kurang apa, kebebasan apalagi? Dan yang paling susah dijawab: siapa yang paling bertanggung jawab atas hidup manusia, jiwa manusia, tujuan akhir hidup manusia?
Kematian, memang tak seorang pun tahu batasnya di mana. Harakiri di Jepang dilakukan pada pertimbangan pertobatan diri, penyesalan diri paling tinggi pelakunya akan tradisi luhur sejarah bangsanya. Mereka harus mempertahankan kehormatan silsilah keluarga dengan samurainya. Mushashi menjadi buku terapan ahli perang dalam strategi berdagang mereka yang disebut dumping. Kekaisaran tetap dipelihara sebagai warisan budaya bangsanya yang telah maju. Nilai perjuangan sampai titik darah penghabisan generasi seperti inilah yang mestinya menjadi motivasi membangun kesejahteraan, kesatuan bernegara di republik ini, bukan republik mimpi ala televisi.
Pembunuhan, bukan tindakan pintas mengakhiri konflik masyarakat tanpa peperangan. Pembunuhan, bukan cara penyelesaian cerita dari klimaks yang dilematis. Orang harus menemukan kesadaran baru bernama pencerahan jiwa pribadi, jiwa sosial, dan jiwa religiusnya lewat proses sejarah hidupnya dari hari ke hari, dari waktu ke waktu. Orang bijak berkata : Cintailah sesama, seperti engkau mencintai dirimu sendiri. Narsiskah? Hanya orang waras yang berbaur dengan orang lain tidak kelihatan edannya. In Memoriam bu dokter.
Komentar
Posting Komentar