Judul-judul di Kompas beberapa kali bergaya seperti judul tulisan saya ini. Saya termasuk pengekor aja dulu seperti teori imitation yang saya peroleh di bangku kuliah sebelum punya gaya sendiri tirulah idolamu, biarlah sementara jadi idiot kereatif.
Walau harus merancang budget ketat tiap bulan dari gaji yang pas-pasan, membaca informasi aktual lewat media massa wajib hukum hariannya. Ini hidup, Bung! Trend masyarakat dalam negeri maupun luar negeri perlu dilihat, dipahami, meski tak harus diikuti sakelijk, mentah, dan halal. Fatwanya dibuat sendiri dengan disiplin ilmu kanuragan, kebatinan, dan kantong rumah tangga. Sederhana: Biarlah orang membeli petasan, rokok, ijazah, pekerjaan, jabatan, ktp, perempuan, sebagai jalan pinta(r/s); dan saya membeli koran sepulang kerja ngambilnya(meski resmi berlangganan pada tukang lapak koran pinggir jalan). Dengan begitu saya kenal banyak pengecer koran di perempatan lampu jalan, tukang parkir toko sebelah, dan pembeli koran bekas yang datang ke rumah kalau tahu di rumah ada tumpukan koran lama.
Saya sering berebut menggunting artikel untuk kliping dengan istri dan anak dengan selera topik berbeda. Demokrasi toh! Anak saya maunya yang praktis, artikel/berita pendek sehalaman hvs kuarto. Itu saja sudah konflik dengan saya. Lha kalau halamannya kebetulan bolak-balik, apa ya harus beli dua koran edisi yang sama? Maklum, guru anak saya itu belum tentu langganan koran nasional dengan pertimbangan abunemennya mahal. Apa ya ada rencana langganan koran gratis? Dulu di Jogya, kota kelahiran saya ada koran ditempel di dinding pinggir jalan atau depan kantor kelurahan/kecamatan, seperti mau nonton tv masa kecil harus ke halaman kelurahan. Nyata bahwa kota budaya dan kota pelajar dibina dan dimanjakan berbagai pihak, tapi sekarang mungkin kalah oleh hotspot yang bisa online kali ya. Bedanya memang koran cetakannya nunggu didistribusikan dalam jaringan transportasi konvensional, perangkat manusia bertingkat-tingkat. Itu bukti pemerataan kesejahteraan rakyat tanpa menggusur hak kedaulatan rakyat jelata.
Nah, ide saya adalah coba kita survey ke lapangan: ada banya celah/space bagi pengusaha media massa untuk promosi dagangannya dengan izin pejabat setempat tentunya untuk memberikan bacaan secara gratis pada tempat-tempat bertemunya komunitas kere(n) ini. Pemerataan kesejahteraan tidak usah ideal memberikan harta sebanyak-banyaknya, membangun rumah sesederhana-sederhananya, memberikan lapangan kerja seluas-luasnya, dlldsbdst. Cukup Reklame koran dengan biaya sponsor yang masuk atau proposal peduli koran rakyat dan dilaporkan pertanggungjawabannya secara transparan kepada penyantun dana atau atasan.
Pesta rakyat menyambut peringatan kemerdekaan RI ke-64 baru surut, tapi rakyat banyak masih merasa belum menikmati kemerdekaan seperti yang dibayangkannya. Sebagian rakyat yang telah merasakan merdeka dapat berjalan-jalan ke luar negeri dengan biaya sendiri atau beasiswa pihak lain, sebagian lagi dipekerjakan atau dikaryakan di kedutaan-kedutaan yang dibiayai APBN, sebagian lainnya punya fond khusus bepergian ke berbagai belahan benua bumi dengan berbagai motivasi. Dan sisanya tersebar dari pelosok Sabang sampai Merauke, tambah kata presiden terpilih Miangas sampai Pulau Rote? Mereka ini berjalan menyusuri kemiskinan, derita bencana, razia trantib, bahkan di kegelapan secara ekonomis dan sistematis tujuh turunan.
Pinjam slogan "BUKA MATA BUKA TELINGA" dirikan bacaan gratis di tempat komunitas kere(n), karena kita diutus untuk memerdekakan manusia lain dari belenggu informasi murah yang tidak murahan.
"Barangsiapa punya telinga, eh mata, hendaklah melihat, dan yang tidak bisa melihat, hendaklah mendengar"
Hidup Komunitas Kere(n)!
Walau harus merancang budget ketat tiap bulan dari gaji yang pas-pasan, membaca informasi aktual lewat media massa wajib hukum hariannya. Ini hidup, Bung! Trend masyarakat dalam negeri maupun luar negeri perlu dilihat, dipahami, meski tak harus diikuti sakelijk, mentah, dan halal. Fatwanya dibuat sendiri dengan disiplin ilmu kanuragan, kebatinan, dan kantong rumah tangga. Sederhana: Biarlah orang membeli petasan, rokok, ijazah, pekerjaan, jabatan, ktp, perempuan, sebagai jalan pinta(r/s); dan saya membeli koran sepulang kerja ngambilnya(meski resmi berlangganan pada tukang lapak koran pinggir jalan). Dengan begitu saya kenal banyak pengecer koran di perempatan lampu jalan, tukang parkir toko sebelah, dan pembeli koran bekas yang datang ke rumah kalau tahu di rumah ada tumpukan koran lama.
Saya sering berebut menggunting artikel untuk kliping dengan istri dan anak dengan selera topik berbeda. Demokrasi toh! Anak saya maunya yang praktis, artikel/berita pendek sehalaman hvs kuarto. Itu saja sudah konflik dengan saya. Lha kalau halamannya kebetulan bolak-balik, apa ya harus beli dua koran edisi yang sama? Maklum, guru anak saya itu belum tentu langganan koran nasional dengan pertimbangan abunemennya mahal. Apa ya ada rencana langganan koran gratis? Dulu di Jogya, kota kelahiran saya ada koran ditempel di dinding pinggir jalan atau depan kantor kelurahan/kecamatan, seperti mau nonton tv masa kecil harus ke halaman kelurahan. Nyata bahwa kota budaya dan kota pelajar dibina dan dimanjakan berbagai pihak, tapi sekarang mungkin kalah oleh hotspot yang bisa online kali ya. Bedanya memang koran cetakannya nunggu didistribusikan dalam jaringan transportasi konvensional, perangkat manusia bertingkat-tingkat. Itu bukti pemerataan kesejahteraan rakyat tanpa menggusur hak kedaulatan rakyat jelata.
Nah, ide saya adalah coba kita survey ke lapangan: ada banya celah/space bagi pengusaha media massa untuk promosi dagangannya dengan izin pejabat setempat tentunya untuk memberikan bacaan secara gratis pada tempat-tempat bertemunya komunitas kere(n) ini. Pemerataan kesejahteraan tidak usah ideal memberikan harta sebanyak-banyaknya, membangun rumah sesederhana-sederhananya, memberikan lapangan kerja seluas-luasnya, dlldsbdst. Cukup Reklame koran dengan biaya sponsor yang masuk atau proposal peduli koran rakyat dan dilaporkan pertanggungjawabannya secara transparan kepada penyantun dana atau atasan.
Pesta rakyat menyambut peringatan kemerdekaan RI ke-64 baru surut, tapi rakyat banyak masih merasa belum menikmati kemerdekaan seperti yang dibayangkannya. Sebagian rakyat yang telah merasakan merdeka dapat berjalan-jalan ke luar negeri dengan biaya sendiri atau beasiswa pihak lain, sebagian lagi dipekerjakan atau dikaryakan di kedutaan-kedutaan yang dibiayai APBN, sebagian lainnya punya fond khusus bepergian ke berbagai belahan benua bumi dengan berbagai motivasi. Dan sisanya tersebar dari pelosok Sabang sampai Merauke, tambah kata presiden terpilih Miangas sampai Pulau Rote? Mereka ini berjalan menyusuri kemiskinan, derita bencana, razia trantib, bahkan di kegelapan secara ekonomis dan sistematis tujuh turunan.
Pinjam slogan "BUKA MATA BUKA TELINGA" dirikan bacaan gratis di tempat komunitas kere(n), karena kita diutus untuk memerdekakan manusia lain dari belenggu informasi murah yang tidak murahan.
"Barangsiapa punya telinga, eh mata, hendaklah melihat, dan yang tidak bisa melihat, hendaklah mendengar"
Hidup Komunitas Kere(n)!
Komentar
Posting Komentar