Masa kanak-kanak tidak kita sadari kalau ekonomi keluarga itu pasang surut dalam pengelolaan anggaran. Orang-orang dewasa yang sudah bekerja baik tetap maupun tidak tetap akan mendapat upah yang harus dibagi-bagi untuk anggota keluarganya sampai pemerolehan dana tetap berikutnya. Beruntunglah kalau di sana-sini ada tambahan penghasilan yang bisa dipertanggungjawabkan asal-usulnya. Almarhum ayahku, dulu seorang PNS golongan IId sampai beliau meninggal, dan pensiun sebelum meninggal untuk beberapa tahun terakhir.
Sampai sekarang uang pensiun diterima oleh ibuku untuk bertahan hidup di kota kelahiran Jogyakarta. Dengan delapan anak, orang tuaku mencoba bertanggung jawab penuh terhadap pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual, bahkan spiritualitas keluarga. Tak peduli timingnya tepat atau tidak, anak-anak selalu meminta terpenuhinya kebutuhan sesaat yang mendesak untuk dikabulkan saat itu juga. Belum terpikir bahwa kantong orang tua bisa kempes bahkan kosong melompong, padahal hidup harus tetap dipertahankan kelangsungannya. Bahasa internasionalnya survive.
Ibuku yang tabah mendapingi suami, berusaha ikut mengelola perputaran uang belanja harian untuk mencukupi kebutuhan domestik makan dengan membuka usaha warung sembako di rumah. Uniknya, masyarakat sekitar rumah sering datang ke warung ibu pada pertengahan bulan atau akhir bulan tanpa bawa uang cukup atau malah tak beruang sama sekali karena kondisi rumah tangga mereka lebih amburadul pada persoalan keuangan. Jadilah mereka pengutang di warung ibu. Dengan alasan tetangga baik, kenal baik, suka ngobrol sana-sini, teman arisan, berpindahlah barang dagangan di warung ke konsumen pengutang tadi. Kalkulasi akhir diperoleh saldo minus alias tidak balik modal untuk mengembangkan usaha.
Untuk beberapa saat memang masih bisa bernapas lega karena di antara mereka ada yang menepati janji bayar utang pada hari menjelang jatuh tempo. Minggu-minggu berikutnya ketepatan mereka membayar utang luntur dengan beraneka penjelasan yang intinya belum bisa bayar utang. Barangkali inilah sumber awal pikiran jahat di kepala. Ingin memenuhi kebutuhan mendesak tetapi tidak tersedia dana yang cukup di tangan. Pada saat bersamaan, di tempat lain tersedia kelimpahan barang yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi keinginan itu, walaupun cara memperolehnya merugikan pihak lain. Faktor individu atau kelompok sendiri kiranya menjadi prioritas pertimbangan mengambil keputusan cepat.
Budaya Jawa berlaku norma bisnis, "Tuna satak bathi sanak" (Rugi harta namun untung tambah saudara) masih dipegang generasi tradisional. Barang dagangan yang cenderung cepat busuk atau rusak akan dijual murah atau malah diberikan secara gratis daripada sia-sia tak berguna bila dipertahankan untuk disimpan berlama-lama. Dua kutub pemicu ini menjadi sumbu bom waktu yang bermuara pada ideologi kredit, pinjam, utang, dan korupsi, kolusi, nepotisme. Mula-mula dalam jumlah kecil gaya amatiran, baru kemudian bertambah besar dan semi profesional.
Lalu investasi datang. Namanya bang plecit! alias bank perkreditan modal harian. Contohnya, Anda pinjam uang Rp 1.000 diterima bersih Rp 800. Lho yang Rp 200 bagaimana? Rinciannya begini. Disepakati angsurannya Rp 100 ditambah bunga hari pertama Rp 100. Dalam waktu 10 hari angsuran tetap ditambah bunga turun dari Rp 100, Rp 90, Rp 80, Rp 70 terus sampai Rp 0 berarti lunas. Aku yang saat itu sudah kelas 4 SD mencoba melarang ibu tergoda cara itu tak mampu menghindar karena terdesak kebutuhan memiliki uang dengan cepat.
Mimpi modal berikutnya adalah judi nomer buntut/lot kecil-kecilan tiap hari atau akhir pekan. Memasang satu nomor dua digit dengan uang Rp 100 akan memperoleh hasil taruhan Rp 1.000 kalau tembus. Tiga digit dengan memasang Rp 1.000 akan memperoleh uang Rp 1.000.000 Wow, begitu menggiurkan untuk masyarakat kelas bawah seperti kebanyakan warga kampung kami di belahan kota bagian barat sungai Winongo yang tiap hari menatap udara langit untuk memandang pesawat terbang datang dan pergi dari bandara Adisucipto. Atau pada jam tertentu mendengar suara semboyan 35 masinis kereta api yang akan memasuki stasiun Tugu. Dan ketika suatu ketika ibu benar-benar tembus memasang nomer tiga digit, ramailah tetangga untuk meminta ramalan jadi atau malah meminta tips uang dengar. Berantaslah judi sampai ke akar-akarnya, pasti ada jalan pintas menyiasatinya. (Bersambung aja ya... lain kali ye....)
Sampai sekarang uang pensiun diterima oleh ibuku untuk bertahan hidup di kota kelahiran Jogyakarta. Dengan delapan anak, orang tuaku mencoba bertanggung jawab penuh terhadap pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual, bahkan spiritualitas keluarga. Tak peduli timingnya tepat atau tidak, anak-anak selalu meminta terpenuhinya kebutuhan sesaat yang mendesak untuk dikabulkan saat itu juga. Belum terpikir bahwa kantong orang tua bisa kempes bahkan kosong melompong, padahal hidup harus tetap dipertahankan kelangsungannya. Bahasa internasionalnya survive.
Ibuku yang tabah mendapingi suami, berusaha ikut mengelola perputaran uang belanja harian untuk mencukupi kebutuhan domestik makan dengan membuka usaha warung sembako di rumah. Uniknya, masyarakat sekitar rumah sering datang ke warung ibu pada pertengahan bulan atau akhir bulan tanpa bawa uang cukup atau malah tak beruang sama sekali karena kondisi rumah tangga mereka lebih amburadul pada persoalan keuangan. Jadilah mereka pengutang di warung ibu. Dengan alasan tetangga baik, kenal baik, suka ngobrol sana-sini, teman arisan, berpindahlah barang dagangan di warung ke konsumen pengutang tadi. Kalkulasi akhir diperoleh saldo minus alias tidak balik modal untuk mengembangkan usaha.
Untuk beberapa saat memang masih bisa bernapas lega karena di antara mereka ada yang menepati janji bayar utang pada hari menjelang jatuh tempo. Minggu-minggu berikutnya ketepatan mereka membayar utang luntur dengan beraneka penjelasan yang intinya belum bisa bayar utang. Barangkali inilah sumber awal pikiran jahat di kepala. Ingin memenuhi kebutuhan mendesak tetapi tidak tersedia dana yang cukup di tangan. Pada saat bersamaan, di tempat lain tersedia kelimpahan barang yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi keinginan itu, walaupun cara memperolehnya merugikan pihak lain. Faktor individu atau kelompok sendiri kiranya menjadi prioritas pertimbangan mengambil keputusan cepat.
Budaya Jawa berlaku norma bisnis, "Tuna satak bathi sanak" (Rugi harta namun untung tambah saudara) masih dipegang generasi tradisional. Barang dagangan yang cenderung cepat busuk atau rusak akan dijual murah atau malah diberikan secara gratis daripada sia-sia tak berguna bila dipertahankan untuk disimpan berlama-lama. Dua kutub pemicu ini menjadi sumbu bom waktu yang bermuara pada ideologi kredit, pinjam, utang, dan korupsi, kolusi, nepotisme. Mula-mula dalam jumlah kecil gaya amatiran, baru kemudian bertambah besar dan semi profesional.
Lalu investasi datang. Namanya bang plecit! alias bank perkreditan modal harian. Contohnya, Anda pinjam uang Rp 1.000 diterima bersih Rp 800. Lho yang Rp 200 bagaimana? Rinciannya begini. Disepakati angsurannya Rp 100 ditambah bunga hari pertama Rp 100. Dalam waktu 10 hari angsuran tetap ditambah bunga turun dari Rp 100, Rp 90, Rp 80, Rp 70 terus sampai Rp 0 berarti lunas. Aku yang saat itu sudah kelas 4 SD mencoba melarang ibu tergoda cara itu tak mampu menghindar karena terdesak kebutuhan memiliki uang dengan cepat.
Mimpi modal berikutnya adalah judi nomer buntut/lot kecil-kecilan tiap hari atau akhir pekan. Memasang satu nomor dua digit dengan uang Rp 100 akan memperoleh hasil taruhan Rp 1.000 kalau tembus. Tiga digit dengan memasang Rp 1.000 akan memperoleh uang Rp 1.000.000 Wow, begitu menggiurkan untuk masyarakat kelas bawah seperti kebanyakan warga kampung kami di belahan kota bagian barat sungai Winongo yang tiap hari menatap udara langit untuk memandang pesawat terbang datang dan pergi dari bandara Adisucipto. Atau pada jam tertentu mendengar suara semboyan 35 masinis kereta api yang akan memasuki stasiun Tugu. Dan ketika suatu ketika ibu benar-benar tembus memasang nomer tiga digit, ramailah tetangga untuk meminta ramalan jadi atau malah meminta tips uang dengar. Berantaslah judi sampai ke akar-akarnya, pasti ada jalan pintas menyiasatinya. (Bersambung aja ya... lain kali ye....)
Komentar
Posting Komentar