Pertama kali menginjakkan kaki di kota pempek, Palembang, tahun 1992 (walaupun sebelumnya lewat aja karena terus kerja ke Pulau Bangka) saya cari info di media lokal bernama Sripo alias Sriwijaya Post, grup koran kelompok Kompas Gramedia. Pada salah satu rubrik khasnya tertera gaya karikatur yang menampilkan tokoh keluarga ayam(chicken) berbadan telanjang dan kepala plontos. Itulah awal perkenalan saya pada 'Ayam Nyenyes dan kosa kata Ganjen'.
Dua kata produk Sumsel ini kemudian berbaur dengan kehidupan saya sehari-hari ketika bertemu dengan orang-orang di kota ini. Beberapa kali juga saya sempatkan berkeliling ke lorong-lorong kampung dengan naik sepeda onthel sambil berolahraga sore atau saat waktu senggang saja. Hasilnya luar biasa. Ada gayung bersambut, ada dulmuluk, ada dulsawan, ada telok abang, ada perahu ketek, ada pempek lenjer sampai pempek kapal selam, ada bujang gadis, ada perahu bidar, ada tari tanggai, ada makam bagus kuning, kawah tengkurep, bukit siguntang, kambang iwak, benteng kuto besak, dan taman purbakala sriwijaya. Kata temen-temen di sini, itu baru sebagian dari keindahan kota BARI ini, yang alinnya belum tercover lha memang belum seumur jagung perjumpaan saya di bumi swarna dwipa.
Karena belum menemukan kamus perbendaharaan kata Palembang, saya lakukan observasi dan wawancara langsung ke beberapa sumber konkret yang saya hadapi. Tetangga yang super ramah di antara tetangga yang lain, siswa sekolah yang tiap hari makan itu empek-empek, dan komunikasi warga pasar tradisionalnya. Media elektronik seperti radio lokal dan tv lokal dengan sajian acara khasnya juga menjadi referen berikutnya. Jadilah kata-kata itu bertambah-tambah, beranak cucu, membentuk moasik lautan kata dengan sebentuk lebak-lebung berisi ladang Ganjen dan Nyenyes. Bukan ayam-ayam lagi, bukan sapi-sapi lagi, bukan ikan patin lagi, bukan gajah-gajah lagi; melainkan kekayaan produksi pupuk sriwijaya, semen baturaja, minyak tanah, batubara, karet, kopi, dan teh di lereng gunung Dempo, Pagaralam, di kabupaten Lahat.
Sungai Musi mengalirkan air kecoklatan begitu pasti dari ulu terawas ke hilir sungsang, melewati rumah-rumah rakit, perahu-perahu hilir-mudik membawa kebutuhan sembako rakyat. Dunia air telah menyatu dengan mereka yang tinggal di bantaran sungai sejak dahulu, masa kerajaan Sriwijaya dicatat dalam sejarah. Manfaat yang paling besar kehidupan warga ini bersumber dan bermuara ke sungai ini untuk mengembara ke laut lepas, menuju wilayah lain yang ingin diseberangi.
Pada kesempatan pesta rakyat, warga akan berkumpul berbondong-bondong merapat ke pinggiran sungai panjang kehidupan mereka di kota ini. Jembatan Ampera menjadi ikon metropolis pemerintah kota ini. Perahu-perahu hias dengan aksesoris mencolok menarik perhatian mata memandangnya. Upacara cheng beng di pulau Kemaro menambah kerumunan orang untuk berkunjung lewat sungai. Di situlah gaharu dan asap bersatu membumbung ke langit-langit pagoda yang sengaja dibangun para dermawan setianya.
Pada pesta pergantian tahun akan kita jumpai kembang api warna-warni berloncatan ke langit, gelegar petasan bersautan, dan tahun-tahun terakhir ini juga kebanjiran terompet musiman dari pulau Jawa yang sudah lebih dahulu berkelimpahan bunyi-bunyian. Padahal saya dulu ditertawakan orang ketika berkeliling malam-malam menjelang pergantian tahun meniupkan terompet yang saya buat sendiri.
Komentar
Posting Komentar