Bermunculan konflik kepentingan di antara kita, berkecamuk opini pro dan kontra atas konflik yang berkembang. Maka, bertambahlah forum konflik di mana-mana memenuhi ruang pikir dan rasa publik.
Angin berbisik ke telinga, matahari menggantang permukaan bumi tanpa ampun, permukaan air mendidih menimbulkan gelombang, pusat bumi demam tak tertahankan dan lari ke gunung-gunung yang masih membuka dapur umum, dan orang-orang bergerak memasuki kota, menggelandang di jalan, berteriak lantang di gerbang. Demonstrasi di mana-mana. Tuntutan ada di mana-mana. Tayangan televisi pun jadi penuh berita.
Kritik terhadap pemegang kekuasaan negeri ini seperti banjir saat hujan mengguyur kota-kota. Masyarakat bengong menyaksikannya, bergerombol di gardu siskamling, di warung pinggir jalan, di teras rumah saat bertamu, dan di pasar-pasar saat menunggu barang dagangan.
Pendidikan formal dan nonformal harus menjadi acuan dasar masyarakat majemuk untuk membangun bangsa yang kuat. Pendidikan formal sekarang lebih banyak melatih proses pengembangan IQ dari pada EQ, apalagi SQ. Akibatnya profesi guru hanya dihargai dan diperlukan saat di kelas, di luar kelas hanya sedikit yang masih menyapa dengan agak sopan.
Untuk memperoleh skill orang harus menambah jam belajar sendiri dengan les privat, kursus, paket magang, latihan kerja, dan sejenisnya dengan tambahan biaya tak sedikit. Pendalaman keimanan dan religiositas hanya selagi sempat dari sisa waktu keseharian hidup yang tak pernah diam. Kesibukan manusia dengan kemajuan sarana dan prasarana zaman telah mempersempit gerak keseimbangan fisik, ratio, emosi, dan rohani.
Pengampunan menjadi barang langka yang sulit diujudkan di muka bumi manusia (pinjam isitlah Pak Pramudya Ananta Toer). Dengan dalih negara hukum, semua persoalan dilihat dengan kacamata hukum positip, tertulis atau bahkan tak tertulis. Penghakiman ada di mana-mana. Korban berjatuhan tanpa dapat membela diri. Biaya untuk sebuah pengampunan tak terbayarkan di dunia ini, walaupun darah dagingnya sendiri. Kekerabatan dijungkirbalikkan atas nama keadilan. Setiap pelanggaran harus diberi sanksi tegas. Dan sanksi itu merugikan sumber kehidupan bernama: NURANI, cahaya paling dalam dalam diri manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya.
Kapan orang berbicara sampai nurani? Kapan pertengkaran itu dapat didamaikan kembali? Kapan setiap konflik itu dapat secepatnya diselesaikan? Meski sakit sampai ke hati dan jantung, pengampunan itu akan membuka lembaran baru kehidupan yang lebih memberi harapan untuk bertahap hidup, membangun puing-puing kehancuran pada cakrawala keharmonisan seperti masa-masa kecil kita, kanak-kanak yang polos.
Angin berbisik ke telinga, matahari menggantang permukaan bumi tanpa ampun, permukaan air mendidih menimbulkan gelombang, pusat bumi demam tak tertahankan dan lari ke gunung-gunung yang masih membuka dapur umum, dan orang-orang bergerak memasuki kota, menggelandang di jalan, berteriak lantang di gerbang. Demonstrasi di mana-mana. Tuntutan ada di mana-mana. Tayangan televisi pun jadi penuh berita.
Kritik terhadap pemegang kekuasaan negeri ini seperti banjir saat hujan mengguyur kota-kota. Masyarakat bengong menyaksikannya, bergerombol di gardu siskamling, di warung pinggir jalan, di teras rumah saat bertamu, dan di pasar-pasar saat menunggu barang dagangan.
Pendidikan formal dan nonformal harus menjadi acuan dasar masyarakat majemuk untuk membangun bangsa yang kuat. Pendidikan formal sekarang lebih banyak melatih proses pengembangan IQ dari pada EQ, apalagi SQ. Akibatnya profesi guru hanya dihargai dan diperlukan saat di kelas, di luar kelas hanya sedikit yang masih menyapa dengan agak sopan.
Untuk memperoleh skill orang harus menambah jam belajar sendiri dengan les privat, kursus, paket magang, latihan kerja, dan sejenisnya dengan tambahan biaya tak sedikit. Pendalaman keimanan dan religiositas hanya selagi sempat dari sisa waktu keseharian hidup yang tak pernah diam. Kesibukan manusia dengan kemajuan sarana dan prasarana zaman telah mempersempit gerak keseimbangan fisik, ratio, emosi, dan rohani.
Pengampunan menjadi barang langka yang sulit diujudkan di muka bumi manusia (pinjam isitlah Pak Pramudya Ananta Toer). Dengan dalih negara hukum, semua persoalan dilihat dengan kacamata hukum positip, tertulis atau bahkan tak tertulis. Penghakiman ada di mana-mana. Korban berjatuhan tanpa dapat membela diri. Biaya untuk sebuah pengampunan tak terbayarkan di dunia ini, walaupun darah dagingnya sendiri. Kekerabatan dijungkirbalikkan atas nama keadilan. Setiap pelanggaran harus diberi sanksi tegas. Dan sanksi itu merugikan sumber kehidupan bernama: NURANI, cahaya paling dalam dalam diri manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya.
Kapan orang berbicara sampai nurani? Kapan pertengkaran itu dapat didamaikan kembali? Kapan setiap konflik itu dapat secepatnya diselesaikan? Meski sakit sampai ke hati dan jantung, pengampunan itu akan membuka lembaran baru kehidupan yang lebih memberi harapan untuk bertahap hidup, membangun puing-puing kehancuran pada cakrawala keharmonisan seperti masa-masa kecil kita, kanak-kanak yang polos.
Komentar
Posting Komentar