Suka dan duka memang berpasangan sebagai kata berlawanan makna. Dalam hidup manusia sehari-hari perubahan itu begitu terasa bedanya. Suka ada perasaan senang dengan berbagai alasan, duka ada perasaan sedih dengan alasannya sendiri. Ketika suka itu berulang dalam waktu sesaat atau relatif lama, rasa senang itu menjadi menyenangkan hati pemiliknya. Wajah yang bersinar, mata yang berbinar, laku hidup yang menyenangkan dialami untuk sendiri maupun bersama yang lain.
Namun, ketika duka itu menghampiri baik sesaat apalagi lama, terasa ada yang tiba-tiba mengganggu kenyamanan, ada yang mengusik daya-daya manusia kita dalam menjalani hidup keseharian. Rasa sedih, kecewa, gagal, terusik, dan rasa-rasa kegalauan tak diharapkan. Efeknya sangat luas. Sakit tanpa sebab yang jelas. jengkel dan marah-marah pada situasi yang dihadapi. Kehilangan selera, gairah makan dan beraktivitas lainnya.
Harapan manusia hidup yang membahagiakan bisa bergeser ke bentuk tragedi yang menyeret energi-energi positif menuju energi negatif, mudah tersinggung, pengendalian kesabaran sampai pada batas toleransi, menggeser nilai-nilai alamiah keselarasan. Kebahagiaan yang kita perjuangkan terkikis oleh kebuntuan berasa, bernalar, bertindak, dan berinteraksi dengan norma-norma, tradisi, habitus, dan sederet tata nilai manusiawi, duniawi, ragawi, rohani.
Bahagia sampai pada rambu bahaya. Keutamaan-keutamaan, keunggulan-keunggulan potensi diri menjadi termangu di persimpangan tanda bahaya. Sulit dipahami, meneror kesabaran, dan merusak sendi-sendi hidup yang telah lama dibangun. Sebelum putus asa, jalan keluar doa menjadi pintu ajaib yang patut diyakini kekuatannya berasal dari daya roh. Iman yang diandalkan jadi palang terakhir yang diharapkan mampu mengatasi kelemahan ragawi manusia individu yang dengan mudah terpikat pada penglihatan, perasaan, pendengaran, penciuman, dan perabaan.
Iman itu juga yang dapat menjadi rumah hati segala harapan bermuara.
Namun, ketika duka itu menghampiri baik sesaat apalagi lama, terasa ada yang tiba-tiba mengganggu kenyamanan, ada yang mengusik daya-daya manusia kita dalam menjalani hidup keseharian. Rasa sedih, kecewa, gagal, terusik, dan rasa-rasa kegalauan tak diharapkan. Efeknya sangat luas. Sakit tanpa sebab yang jelas. jengkel dan marah-marah pada situasi yang dihadapi. Kehilangan selera, gairah makan dan beraktivitas lainnya.
Harapan manusia hidup yang membahagiakan bisa bergeser ke bentuk tragedi yang menyeret energi-energi positif menuju energi negatif, mudah tersinggung, pengendalian kesabaran sampai pada batas toleransi, menggeser nilai-nilai alamiah keselarasan. Kebahagiaan yang kita perjuangkan terkikis oleh kebuntuan berasa, bernalar, bertindak, dan berinteraksi dengan norma-norma, tradisi, habitus, dan sederet tata nilai manusiawi, duniawi, ragawi, rohani.
Bahagia sampai pada rambu bahaya. Keutamaan-keutamaan, keunggulan-keunggulan potensi diri menjadi termangu di persimpangan tanda bahaya. Sulit dipahami, meneror kesabaran, dan merusak sendi-sendi hidup yang telah lama dibangun. Sebelum putus asa, jalan keluar doa menjadi pintu ajaib yang patut diyakini kekuatannya berasal dari daya roh. Iman yang diandalkan jadi palang terakhir yang diharapkan mampu mengatasi kelemahan ragawi manusia individu yang dengan mudah terpikat pada penglihatan, perasaan, pendengaran, penciuman, dan perabaan.
Iman itu juga yang dapat menjadi rumah hati segala harapan bermuara.
Komentar
Posting Komentar