Salah satu cerita klasik yang masih dipelihara dan dikaji terus-menerus dalam praksis hidup masyarakat adalah epos Ramayana dan Mahabarata. Sejak kemunculannya dipercaya dan diakui prototipe-nya berasal dari India, kemudian menyebar dalam berbagai versi ke segenap lapisan masyarakat pemerhati dan penikmatnya.
Ciri-ciri keklasikan cerita itu dapat dilacak dari beberapa sifat berikut: 1) Berkembang pada tradisi lisan - turun-temurun dari generasi pendahulu ke generasi penerusnya dengan bumbu penyedap rasa yang diinginkannya. 2) Menjadi milik masyarakat bersama (komunal) yang mengagumi dan menghayati hidup sebagai sebuah perjalanan batin (ziarah). 3) Istana sentris sebagai penanda kisahan yang bertingkat-tingkat dari lapisan masyarakat awam biasa hingga lapisan masyarakat kahyangan tempat para dewa pemegang kebijakan dan pengatur ritme alam kehidupan dalam keteraturan pola cerita pakemnya. 4) Bahasa yang terpelihara baik yang klise kelas bahasa kuno yang bernuansa bahaeulah, bahasa penyampaian kisah halus, menengah hingga kasar, bahasa 'titipan' sponsor, maupun bahasa gaul global yang go international pun menjadi pendekatan sekaligus teknik pementasan secara keseluruhan.
Perkembangan teknologi dan informasi tidak menyisihkan pertunjukan ini dari kolaborasi teaterikal performance 'wayang'. Pemerhati bebas memilih menikmati wadag tokoh pewayangan dari depan kelir lengkap dengan seperangkat gamelan, pengrawit, pesinden, wira swara, dalang dan asisten dalang atau bersikukuh melihat batin wayang dari filosofi bayangan di belakanag kelir (untuk sebagian pemerhati setianya). Anehnya, beberapa pertunjukan dewasa ini tidak menyisakan ruang belakang kelir yang memberikan alternatif penontonnya dengan alasan keterbatasan ruang/tempat.
Ciri-ciri keklasikan cerita itu dapat dilacak dari beberapa sifat berikut: 1) Berkembang pada tradisi lisan - turun-temurun dari generasi pendahulu ke generasi penerusnya dengan bumbu penyedap rasa yang diinginkannya. 2) Menjadi milik masyarakat bersama (komunal) yang mengagumi dan menghayati hidup sebagai sebuah perjalanan batin (ziarah). 3) Istana sentris sebagai penanda kisahan yang bertingkat-tingkat dari lapisan masyarakat awam biasa hingga lapisan masyarakat kahyangan tempat para dewa pemegang kebijakan dan pengatur ritme alam kehidupan dalam keteraturan pola cerita pakemnya. 4) Bahasa yang terpelihara baik yang klise kelas bahasa kuno yang bernuansa bahaeulah, bahasa penyampaian kisah halus, menengah hingga kasar, bahasa 'titipan' sponsor, maupun bahasa gaul global yang go international pun menjadi pendekatan sekaligus teknik pementasan secara keseluruhan.
Perkembangan teknologi dan informasi tidak menyisihkan pertunjukan ini dari kolaborasi teaterikal performance 'wayang'. Pemerhati bebas memilih menikmati wadag tokoh pewayangan dari depan kelir lengkap dengan seperangkat gamelan, pengrawit, pesinden, wira swara, dalang dan asisten dalang atau bersikukuh melihat batin wayang dari filosofi bayangan di belakanag kelir (untuk sebagian pemerhati setianya). Anehnya, beberapa pertunjukan dewasa ini tidak menyisakan ruang belakang kelir yang memberikan alternatif penontonnya dengan alasan keterbatasan ruang/tempat.
Komentar
Posting Komentar