Kemerdekaan yang telah dibangun 65 tahun berkonsekuensi suksesi kepemimpinan di segala posisi strategis tata kenegaraan dan tata kelola pemerintahan negeri merdeka ini. Trias politica yang disitir dari Montesque tentu mengalami adaptasi dari periode awal sampai perkembangan terakhir ini. Cit-cita 'Mukadimah UUD 1945' yang menggariskan menciptakan manusia Indonesia seutuhnya dan mensejahterakan kehidupan rakyat tentu bukan suatu bayangan utopia belaka. Tiap periode pemerintahan diharapkan dapat meletakkan dasar dan menorehkan tonggak sejarah kemajuan kehidupan rakyat di dalam maupun ke luar negeri.
Bagaimana sendi-sendi bernegara dibangun dalam sejarah perjuangan, menegakkan, dan meneruskan kemerdekaan bangsa, negara, dan rakyat bhineka tunggal ika ini, bisa kita baca dari berbgai sumber yang mampu kita dapatkan. Dikotomi pemerintahan gaya sipil dan militer mewarnai hampir seluruh sistem pemerintahan negara yang memproklamasikan diri merdeka, bebas dari penindasan bangsa penjajah.
Wajah-wajah pemimpin pilihan rakyat yang dijabat Presiden: Ir. Soekarno, H.M. Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, sampai Soesilo Bambang Yudoyono. Masing-masing punya gaya kepemimpinan sendiri yang dibangun atas dasar koalisi partai yang ada. Akibat langsungnya adalah peningkatan kesejahteraan yang signifikan ada di tingkat elite politik partai dan kerabat pemerintahan yang sedang menjabat. Lha di sini ini kualitas kepemimpinan presiden yang memihak kepada kepentingan tertentu mengatasnamakan kepentingan rakyat teridentifikasi secara jelas dari waktu ke waktu.
Tanda jelas yang tak bisa dibantah adalah HUTANG LUAR NEGERI dan PENERIMAAN PAJAK NEGARA. Biaya pembangunan dalam berbagai sektor tak mungkin tercukupi hanya dari hasil bumi agraris yang terus bertambah banyak warganya. SDM terdidik dan terampil butuh waktu cukup untuk menyiapkannya. Semangat merdeka dan memajukan kehidupan bangsa harus berseberangan dengan semangat memupuk harta dan mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari.
Komentar
Posting Komentar