Aku pikir keretaku bakal sampai dengan selamat di stasiun tujuan akhir, setelah melewati stasiun demi stasiun antara yang terlewat. Rangkaian gerbong yang kubawa membawa nama-nama mereka lengkap dengan barang bawaan sekalian lambaian selamat jalan.
Lalu, malam pun datang setelah senja. Rel yang biasa kami lewati terbujur sejajar menghubugkan kota demi kota, menyeberang perlintasan jalan, melewati jembatan, menerobos terowongan bukit hijau, dan istirahat di pelataran stasiun pemandu perjalanan. Setiap pemberhentian tentu ada keramahan pedagang menyapa penumpang yang haus ataupun lapar di jalan pulang.Percakapan yang mengalir dari hati kita saat menjelang berangkat, juga saat makan di perjalanan seperti cerita yang tak pernah lepas dari kelebat bayangan di kaca jendela. Lampu-lampu, pemukiman penduduk yang berjejer di kanan kiri jalur rel, juga sawah dan sungai kenangan, sirine di pintu perlintasan memandu kereta belajar berlari kencang tetapi juga belajar berhenti pada waktunya.
Ketika letih kantuk menjalar sangat terasa keretaku harus berhenti di stasiun Petarukan, Pemalang, Jawa Tengah, ternyata istirahatku tak mampu kuteruskan sampai keretamu tiba-tiba mendorong keretaku dari arah belakang pada jalur yang seharusnya berbeda. Dini hari yang gelap dan sepi berubah jadi malapetaka kepanikan yang luar biasa mengguncang seluruh gerbong penumpang. Tak ada yang menyangka tentu peristiwa itu bakal terjadi begitu rupa. Dalam kesadaran yang mencapai titik nadir, tak ada lagi saksi mata mampu memberikan isyarat preventif. Jika kuda besi dengan kecepatan konstan menumbur kuda besi yang sedang berhenti di atas bantalan rel yang sama, hasil tumbukan itu akan menimbulkan hentakan gaya fisika yang pernah aku pelajari di bangku sekolah lanjutan.
Ratap dan rintih dalam kejut sesaat jadi awal catatan duka tak terhindarkan di sini. Bergelimpangan para penumpang dalam gerbong keretaku, mahadahsyat getarannya membangunkan masyarakat dari rumah-rumah mereka. Sekejap kerumunan mereka mencari suara dengan sorot lampu seadanya. Tak banyak yang bisa dilakukan pada situasi kesadaran belum sepenuhnya diingatnya. Lalu semuanya menjadi gelap tak tertahankan. Mengiris pagi, menyayat duka.
Kenapa keretaku tak lagi nyaman melaju di jalur rel yang seharusnya? Apakah dualisme pengelolaan PJKA dengan PTKAI yang pernah kudengar dalam percakapan di ruang restorasi selama perjalanan telah menimbulkan konflik internal seperti api dalam sekam?
Masyarakat pengguna jasa angkutan massal bernama kereta api ini tentu tetap mendambakan pengelolaan armada angkutan darat yang memihak kepada mereka dalam pelayanannya. Dunia perkerataapian menanti keberpihakan siapapun pengelolanya pada pelayanan yang nyaman dan terjangkau pembiayaan yang proporsional.
Lalu, malam pun datang setelah senja. Rel yang biasa kami lewati terbujur sejajar menghubugkan kota demi kota, menyeberang perlintasan jalan, melewati jembatan, menerobos terowongan bukit hijau, dan istirahat di pelataran stasiun pemandu perjalanan. Setiap pemberhentian tentu ada keramahan pedagang menyapa penumpang yang haus ataupun lapar di jalan pulang.Percakapan yang mengalir dari hati kita saat menjelang berangkat, juga saat makan di perjalanan seperti cerita yang tak pernah lepas dari kelebat bayangan di kaca jendela. Lampu-lampu, pemukiman penduduk yang berjejer di kanan kiri jalur rel, juga sawah dan sungai kenangan, sirine di pintu perlintasan memandu kereta belajar berlari kencang tetapi juga belajar berhenti pada waktunya.
Ketika letih kantuk menjalar sangat terasa keretaku harus berhenti di stasiun Petarukan, Pemalang, Jawa Tengah, ternyata istirahatku tak mampu kuteruskan sampai keretamu tiba-tiba mendorong keretaku dari arah belakang pada jalur yang seharusnya berbeda. Dini hari yang gelap dan sepi berubah jadi malapetaka kepanikan yang luar biasa mengguncang seluruh gerbong penumpang. Tak ada yang menyangka tentu peristiwa itu bakal terjadi begitu rupa. Dalam kesadaran yang mencapai titik nadir, tak ada lagi saksi mata mampu memberikan isyarat preventif. Jika kuda besi dengan kecepatan konstan menumbur kuda besi yang sedang berhenti di atas bantalan rel yang sama, hasil tumbukan itu akan menimbulkan hentakan gaya fisika yang pernah aku pelajari di bangku sekolah lanjutan.
Ratap dan rintih dalam kejut sesaat jadi awal catatan duka tak terhindarkan di sini. Bergelimpangan para penumpang dalam gerbong keretaku, mahadahsyat getarannya membangunkan masyarakat dari rumah-rumah mereka. Sekejap kerumunan mereka mencari suara dengan sorot lampu seadanya. Tak banyak yang bisa dilakukan pada situasi kesadaran belum sepenuhnya diingatnya. Lalu semuanya menjadi gelap tak tertahankan. Mengiris pagi, menyayat duka.
Kenapa keretaku tak lagi nyaman melaju di jalur rel yang seharusnya? Apakah dualisme pengelolaan PJKA dengan PTKAI yang pernah kudengar dalam percakapan di ruang restorasi selama perjalanan telah menimbulkan konflik internal seperti api dalam sekam?
Masyarakat pengguna jasa angkutan massal bernama kereta api ini tentu tetap mendambakan pengelolaan armada angkutan darat yang memihak kepada mereka dalam pelayanannya. Dunia perkerataapian menanti keberpihakan siapapun pengelolanya pada pelayanan yang nyaman dan terjangkau pembiayaan yang proporsional.
Komentar
Posting Komentar